Laman

Selasa, 05 Maret 2013

Belajar Comeback dari Peselancar yang Dimangsa Hiu

Bulan ini majalah Surfer menuliskan kisah menarik dari arena olahraga berselancar, The Five Greatest Comebacks of All Time. Salah satunya mengupas Bethany Hamilton, seorang peselancar muda yang kehilangan tangannya karena diserang hiu saat berselancar namun tak kapok untuk kembali jadi peselancar. Itulah kenapa Bethany masuk ke dalam Five Greatest Comebacks.

Penurunan artikel di bulan Februari ini tampaknya dikaitkan dengan hari ulang tahun Bethany yang jatuh pada hari ini, 8 Februari. Bethany memang jadi sosok “Comeback” yang menginspirasi banyak orang di dunia. Karena itu pula bulan ini sejumlah media lain ikut mewawancarainya mengenai semangat comeback-nya itu. Termasuk televisi Brazil, Globo TV, dengan menurunkan cerita mengenai dirinya dengan ulasan, “Belajar dari kisah peselancar muda yang kembali belajar hidup setelah kehilangan tangannya”.

Peristiwa itu terjadi pada 31 Oktober 2003. Bethany yang kelahiran 8 Februari 1990, berselancar di Tunnels Beach, Kauai, Hawaii. Hidup di negara bagian Amerika Serikat yang berbentuk kepualaun dan berada di lautan Pasifik itu memang harus akrab dengan laut. Pagi itu Bethany berselancar bersama temannya, Alana Blanchard, dan kedua orangtua Alana.

Pagi sekitar pukul 07.30 mereka mulai mengayuh papan selancar menuju tengah lautan untuk menyambut gelombang tinggi. Namun belum sampai ombak datang, tiba-tiba seekor ikan hiu sepanjang 4,3 meter menyerang Bethany. Tanpa ada perlawanan, hiu itu menggigit lengan kiri Bethany.

Untung ia masih bisa diselamatkan dari kematian. Bethany yang tak berdaya segera dibawa ke pantai oleh orangtua Alana. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Wilcox Memorial. Uniknya, ia dirawat di kamar yang semula akan digunakan ayahnya yang saat itu dijadwalkan akan menjalani operasi lutut. Namun operasi itu tak jadi karena Bethany mengalami kecelakaan. Bethany sendiri menginap di sana selama sembilan hari.

Ternyata, meskipun sekarang ia tak memiliki tangan kiri, sebulan setelah kejadian itu ia kembali berselancar. Ia memulainya dengan agak canggung, karena jika dulu keseimbangannya bisa diatur dengan dua tangan, sekarang hanya dengan satu tangan. Ia berlatih keras dengan kondisi barunya itu.

Banyak orang kagum atas dedikasinya pada cabang olahraga selancar. Karena itu pada July 2004 Bethany mendapat anugerah The Best Comeback Athlete ESPY Award.  Ia juga meraih special award pada ajang the 2004 Teen Choice Awards. Dan meski peristiwa itu sudah lama berlalu, hingga kini masih banyak penghargaan diberikan kepadanya. Tahun lalu ia meraih ASP Peter Whittaker Award.  Tahun 2011 setidaknya ada tiga penghargaan diberikan kepadanya karena saat itu buku dan filmnya beredar. Bukunya, Soul Surfer meraih #1 best seller dari New York Times. Dan dari film mengenai dirinya, ia meraih Life of a Maverick Award, pada acara Cinequest Film Festival.

Kisah Bethany memang inspiratif, gambaran orang yang tak mau mengalah pada keadaan yang membatasi dirinya. Sebagai peselancar ia tetap berprestasi meski kehilangan salah satu tangannya.

Pengemis Jujur dan Sumbangan Rp1,5 Miliar

Hampir saja kebaikan Sarah Darling berakhir pilu bagi dirinya. Ketika ia berjalan di pinggir jalan di dekat jembatan dekat Kansas City, Missouri, ia melihat Billy Ray Harris duduk sambil menadahkan cangkir meminta belas kasihan. Tak pikir panjang ia pun membuka dompetnya dan dengan buru-buru memberikan uang receh pada Harris. Setelah itu segera pergi.

Setelah sampai ke rumah ia merasa kehilangan cincin pernikahannya. Setelah dicari ke sana ke mari, tak juga ditemukan, termasuk membuka dompetnya. Satu kemungkinannya adalah, cincin itu ikut terbawa saat memberikan uang receh pada Harris. Sehari sebelumnya ia memang mencopot cincin itu ketika jarinya sakit.

Besoknya ia kembali ke tempat biasa Harris meminta-minta. Kebetulan tunawisma itu masih di sana. “Saya tidak yakin Anda masih ingat saya," kata Sarah Darling pada Harris. "Tetapi sepertinya saya dengan tak sengaja memberikan sesuatu yang berharga pada Anda,” katanya lagi.

“Apakah sebuah cincin?” tanya Harris. “Saya menyimpannya buat Anda,” ujarnya lagi. Harris lalu memberikan cincin itu pada Sarah Darling.

Tentu saja Sarah Darling gembira luar biasa. Ternyata ia bisa mendapatkan kembali cincin yang sebelumnya tak yakin bisa ia temukan. “Cincin itu sangat berharga bagi saya. Itu tak ternilai,” katanya.

Sarah Darling menceritakan suka citanya pada suami dan juga teman-temannya. Di antara temannya itu kemudian menceritakan kisah itu ke stasiun TV lokal, KCTV. Ternyata cerita itu berkembang dan mendapat sambutan luar biasa baik dari koran lokal maupun internasional. Banyak teman-teman Sarah ingin memberi sumbangan pada Harris karena sikap baiknya itu. Karena banyak, Sarah terinspirasi untuk membuka akun sumbangan di website khusus fundraiser (pengumpulan dana) Five Forward (Giveforward.com).

Belum sebulan sudah ada 6200 lebih yang memberi sumbangan pada Harris melalui website itu. Dan nilai yang terkumpul mencapai US$150.000. Dengan kurs rupiah saat ini itu berarti hampir Rp1,5 miliar.

Ketika CNN mewawancara Harris, tunawisma itu mengatakan, “Saya senang menderngarnya, tetapi saya tak berpikir saya pantas mendapatkannya,” katanya. Menurut Harris, kakeknya mengajarkan betapa pentingnya kejujuran.

Sarah Darling sendiri baru akan memberikan uang itu setelah tiga bulan. Masih ada 79 hari lagi bagi yang ingin menyumbang Harris.

Sebenarnya kebaikan tak selayaknya diukur dengan uang karena itu jauh lebih berharga dari nilai uang berapa pun. Namun tatkala ukurannya sulit ditentukan, apa yang diperoleh Harris itu menunjukkan hal yang berharga. Ternyata masih banyak orang yang jujur dan juga banyak orang yang mau mengapresiasi kejujuran orang lain. Dana yang terkumpul itu menunjukkan bahwa betapa nilai kejujuran begitu mahal harganya.....

Menikmati Hidup

Seorang dosen memberikan kuliah tentang manajemen stres. Ia mengangkat sebuah gelas berisikan air dan bertanya pada mahasiswanya, ”Menurut kalian, berapa berat air dalam gelas ini?”

Setiap mahasiswa menyebutkan angka yang berbeda-beda.

Lalu sang dosen berkata lagi, ”Berapa berat yang pasti tidaklah penting. Karena hal itu bergantung pada berapa lama kita memegangnya. Jika saya memegangnya selama semenit, tidak masalah. Kalau saya memegangnya selama satu jam, lengan kanan saya akan kram. Dan jika saya memegangnya seharian, mungkin kita harus dibawa ke rumah sakit. Padahal beratnya sama saja, tapi semakin lama kita memegangnya, gelas air itu akan terasa semakin berat.

”Begitu pula dalam hidup ini. Jika kita menanggung beban-beban hidup (bisa berupa kekecewaan, kegagalan, kekalahan, kesedihan, dukacita, dll) sepanjang waktu, cepat atau lambat, kita taidk kan mampu bertahan. Karena beban itu lama-kelamaan akan makin terasa berat. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah menaruh gelasnya, beristirahat sebentar sebelum kembali memegangnya.”

Sama halnya dengan gelas air tersebut, kita perlu meletakkan beban-beban hidup kita pada waktu-waktu tertentu, sehingga kita bisa merasa segar lagi dan mampu mengangkat beban itu kembali.

Jadi, sebelum kita pulang ke rumah dari pekerjaan atau segala aktivitas kita selama seharian penuh, letakkan sejenak beban kerja dan hidup kita. Jangan membawa beban itu ke dalam rumah. Tinggalkan itu di luar rumah. Esok pagi, saat tubuh kita sudah terasa segar kembali, kita bisa mengambil beban itu lagi.

Cobalah untuk beristirahat dan bersantai. Nikmatilah hidup ini! Karena pada akhirnya yang paling penting adalah seberapa baik kita menjalani hidup, mencintai, dan belajar untuk melepaskan beban dalam hidup.