@ ACCURATE HEALTH CENTER (KONSULTASI PSIKOLOGI & AKUPUNKTUR & REFLEKSIOLOGI)
Kamis, 24 Februari 2011
Kisah Menyentuh dari Anak Kanker
Aku mengambil mangkok dan berkata Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak2 sama ayah.
Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata “boleh ayah akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta” agak ragu2 sejenak “akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan saya?”
Aku menjawab “oh pasti, sayang.”
Sindu tanya sekali lagi, “betul nih ayah ?”
“Yah pasti sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda setuju.”
Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, janji kata istriku. Aku sedikit khawatir dan berkata: “Sindu jangan minta komputer atau barang2 lain yang mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya uang.”
Sindu menjawab : jangan khawatir, Sindu tidak minta barang2 mahal kok. Kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hatiku aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya.
Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin/dibotakin pada hari Minggu. Istriku spontan berkata permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin. Juga ibuku menggerutu jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV dan program2 TV itu sudah merusak kebudayaan kita.
Aku coba membujuk: Sindu kenapa kamu tidak minta hal yang lain kami semua akan sedih melihatmu botak. Tapi Sindu tetap dengan pilihannya, tidak ada yah, tak ada keinginan lain, kata Sindu. Aku coba memohon kepada Sindu : tolonglah kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami.
Sindu dengan menangis berkata : ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan saya. Kenapa ayah sekarang mau menarik/menjilat ludah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi seperti Raja Harishchandra (raja India jaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya rela memberikan tahta, harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.
Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku : janji kita harus ditepati. Secara serentak istri dan ibuku berkata : apakah aku sudah gila? Tidak, jawabku, kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu, permintaanmu akan kami penuhi. Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar dan matanya besar dan bagus.
Hari Senin, aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya.
Tiba2 seorang anak laki2 keluar dari mobil sambil berteriak : Sindu tolong tunggu saya. Yang mengejutkanku ternyata, kepala anak laki2 itu botak.
Aku berpikir mungkin”botak” model jaman sekarang. Tanpa memperkenalkan dirinya seorang wanita keluar dari mobil dan berkata: “anak anda, Sindu benar2 hebat. Anak laki2 yang jalan bersama-sama dia sekarang, Harish adalah anak saya, dia menderita kanker leukemia.” Wanita itu berhenti sejenak, nangis tersedu-sedu, “bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, karena pengobatan chemo therapy kepalanya menjadi botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek/dihina oleh teman2 sekelasnya. Nah Minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya saya betul2 tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”
Aku berdiri terpaku dan aku menangis, malaikat kecilku, tolong ajarkanku tentang kasih.
Sabtu, 12 Februari 2011
Pohon Apel yang Mengorbankan Segalanya
Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke puncak pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula, pohon apel sangat mencintai anak kecil itu. Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu. "Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tidak punya uang untuk membelinya". Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang..., tapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu." Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan sukacita. Namun, setelah itu anak lelaki tersebut tidak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi." kata pohon apel. "Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?" "Duh, maaf aku tidak punya rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu", kata pohon apel. Kemudian, anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tidak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersukacita menyambutnya. 'Ayo bermain-main lagi denganku." kata pohon apel. 'Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang." Aku ingin berlibur dan berlayar. Maukah kau memberiku sebuah kapal berlibur dan berlayar. Maukah kau memberiku sebuah kapal untuk pesiar?" Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah." Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu berlayar dan ttak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. "Maaf, anakku," kata pohon apel itu. 'Aku sudah tidak punya buah apel lagi untukmu." Tak apa. Aku pun sudah tak punya gigi untuk menggigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu. 'Aku juga tak pynya batang dan dahan yang bisa kau panjat," ujar pohon apel. "Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab lelaki itu. 'Aku benar-benar tak punya apa=apa lagi yang bisa kuberikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel sambil menitikkan air mata. 'Aku tidak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki, "aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu." "Ooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahat dengan tenang." Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
Inilah untuk kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita masih muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orangtua kita. Dan yang terpenting : cintailah orangtua kita. Berilah perhatian dan kasih sayang anda pada orang tua. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan tapi tidak diketahui. Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintai mereka, dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan mereka berikan kepada kita. Berbagilah, selama waktu masih ada. Semoga kita, orangtua kita dan sahabat-sahabat kita, bahagia.
Kamis, 03 Februari 2011
Ayah Pilih Kasih
Ayah mengutamakan pria meremehkan wanita, kesan ini sudah berurat akar dalam sanubariku sejak masa kanak-kanak.
Sejak kecil hingga dewasa, akuselalu mendapat pakaian bekas kakak laki-lakiku. Bagaimanapun, seorang gasid yang mengenakan pakaian kakaknya yang longgar dan usang, rasanya sangat janggal. Saat pulang sekolah, aku selalu berlengah-lengah jalan di belakang, takut kepergok teman-temanku, yang akan mengejek dan menertawakanku sebagai bocah gadungan.
Kakakku seorang laki-laki cacat, lebih tua
Seharusnya akulah yang paling pantas disayang ayah. Karena hal ini, aku selalu tidak terima akan sikap ayah terhadapku, aku menganggap ayah pilih kasih. Suatu hari saat tahun baru, ayah lagi-lagi membelikan pakaian baru untuk kakak, sedangkan aku tidak satu pun. Akhirnya aku tak tahan lagi, melabrak ayah sambil berteriak, “Ayah pilih kasih! Aku benar-benar tidak mengerti. Ia hanya laki-laki cacat, apa bagusnya meski berpakaian bagus sekalipun?! Mendengar itu, bukan main marahnya ayah dan ia menamparku. Aku tidak menyerah dan mengangkat kepalaku, bak seekor singa yang lapar aku meraung sambil menatap ayah, “Aku tahu ayah memandang rendah padaku, ayo pukul lagi! Kalau perlu bunuh saja sekalian!” Muka ayah merah padam saking marahnya, kemudian ia hendak menampar lagi, tapi dicegah oleh ibu.
Sejak itu, aku makin benci sama keluarga ini, aku belajar dengan tekun, dan berencana hendak meninggalkan keluarga ini setelah lulus ke perguruan tinggi. Abangku hanya sekolah beberapa tahun, setelah itu berhenti dan tinggal di rumah, prestasi belajarnya selama ini sebenarnya sangat memuaskan. Tapi aku tidak merasa menyesal untuknya, malah aku merasa senang, “Siapa suruh kau cacat?”
Setelah lulus SMA aku berhasil diterima di sebuah lembaga ilmu kedokteran. Dua tahun kemudian, aku menjalin
Belakang akhirnya pernikahan kakak telah dibicarakan dan disetujui, yaitu seorang gadis desa tetangga yang polos. Ayah mengeluarkan puluhan ribu yuan dan dengan cukup meriah menyelenggarakan pernikahan mereka.
Setelah menikah., aku juga sudah jarang pulang ke rumah. Beberapa hari yang lalu ayah ulang tahun yang ke-60, ibu meneleponku, tapi aku menolak dengan alas an lagi sibuk dan mungkin tidak bisa pulang. Dengan kecewa ibu menutup telepon.
Suamiku mengatakan, tidak baik kalau ulang tahun ayah sampai tidak menyempatkan diri untuk pulang. Suamiku memberi berbagai nasehat, dan akhirnya aku pulang juga. Ayah tampak gembira, sibuk ke
Malamnya, aku tidur bersama ibu. Pada malam itu ibu mengatakan, “Gadis manis, lain kali tidak boleh berkata begitu sama ayah, karena marah ayahmu hari ini menyeka air matanya.” Aku berbisik pelan, “Siapa suruh dia pilih kasih?” Ibu menarik napas panjang lalu berkata, “Sayang, tahukah kamu kenapa kaki kakakmu cacat?” Aku menggeleng. “Saat kamu masih anak-anak, suatu ketika ayah membawamu dan kakamu menumpangi traktor pergi ke pecan raya, tapi traktor itu terbalik di tengah jalan, dengan nalurinya ayah memelukmu dan menloncat keluar. Namun, ketika ayah kembali lagi mencari kakakmu, kakinya telah tertindih di bawah roda. Kakakmu kemudian di bawa ke rumah sakit, dan meski nyawanya selamat, tapi meninggalkan cacat seumur hidup. Dan sampai sekarang ayahmu masih merasa sangat bersalah, ia tidak melindungi kalian dengan baik sekaligus. Tapi ayah juga tidak mau aku menceritakan hal yang sebenarnya padamu, ayah takut kau akan memikul beban jiwa yang berat.”
Aku termangu.., dan air mata berlinang membasahi wajahku.
Kesabaran, Kemurahan Hati, dan Kerelaan Memaafkan
Kehidupan kita senantiasa diwarnai oleh riak-riak. Seringkali dalam perjalanan hidup, kita mengalami konflik dengan orang lain, saudara kita meupun sahabat-sahabat kita. Masalah yang memicu konflik bias aja suatu hal kecil, perbedaan kepentingan maupun perbedaan cara berpikir. Konflik yang ada awalnya mungkin hanya menimbulkan kejengkelan, kesesalan dalam hati. Akan tetapi, setelahnya, ego dalam diri mulai bekerja, mencari-cari pembenaran bagi diri sendiri, mencari-cari kesalahan dari orang yang kita tidak sukai tersebut. Lama-lama yang kita pikirkan tentang orang tersebut hanyalah kejelekan-kejelekannya. Kita semakin terbutakan oleh ego dan kebencian kita, kita terus memendamnya dalam hati kita, dalam ingatan kita.
Tapi pernahakah kita merenungkan bahwa pemendaman rasa marah, jengkel maupun benci hanya merusak batin kita sendiri ? juga merusak kesehatan kita. Pernakah kita merenungkan betapa langkanya kesempatan untuk memaafkan itu ? Pernahakah terlintas dalam pikiran kita kalau orang yang kita benci atau jengkel itu juga sebenarnya punya kesulitan-kesulitan tersendiri ? Pernakah kita belajar untuk mencoba memahaminya?
Rasa marah, jengkel, benci…
Sadari…, perlahan..
Mungkin.., suatu masa.. , Anda akan menyadari bodohnya sikap anda yang tercengkeram oleh perasaan tidak suka tersebut.
Mungkin…, bahkan ketika anda tersadar dan ingin sekali memaafkan orang-orang tersebut, semuanya sudah terlambat.
Mungkinkah ini terjadi? Saya ingin mengajak anda dalam serpihan kisah berikut.
Hsiau-fei adalah seorang mahasiswa yang sebentar lagi akan diwisuda. Dia sangat mendambakan akan mendapatkan hadiah wisuda dari ayahnya, seorang pengusaha kaya yang sangat menyayanginya sebagai anak satu-satunya. Hsiau-fei selama berhari-hato telah membayangkan akan mengendari mobil BMW idamannya sambil bersenang-senang dengan temannya.
Saat yang dinantikan pun tibalah, yan gmana setelah diwisuda, dengan langkah penuh keyakinan Hsiau-fei melangkah menemui ayahnya yang tersenyum sambil berlinang air mata menyampaikan betapa dia sangat kagum akan anak satu-satunya dan snguh dia mencintainya. Ayahnya kemudian mengeluarkan seuah kado yang dibungkus rapi, dan sungguh hal ini membuat Hsiau-fei terpaku karena bukanlah kunci mobil BMW sebagaimana yang diharapkannya. Dengan perasaan gundah dibukanya juga kado itu di mana berisi kita Buddha Vacana yang terjilid rapi berlapiskan tulisan emas nama Hsiau-fei di sampul depannya. Hancur sekali hati Hsiau-fei menerima hadiah kitab tersebut, dan dengan marah tanpa dapat terkendalikan, dia membanting kitab tersebut sambil berteriak nyaring, “Apakah ini cara Ayah mencintai saya?! Padahal dengan uang Ayah yang banyak, tidaklah sulit untuk membelikan hadiah yang memang telah Ayah ketahui sudah lama saya idamkan!!!” Kemudian Hsiau-fei tanpa melihat reaksi ayahnya lagi, berlari kencang meninggalkannya dan bersumpah tidak akan menemuinya lagi.
Hari, bulan, dan tahun pun berganti. Hsiau-fei yang telah pindah tinggal di
Sampai suatu hati, datanglah telegram dari tetangga ayahnya yang memberitahukan bahwa ayahnya telah meninggal dunia, dan sebelum meninggal dia telah meninggalkan
Memasuki halaman rumahnya, timbullah rasa penyesalan yang menyebabkannya sedih sekali memikirkan sikap ketidaksabarannya, khususnya saat wisuda. Hsiau-fei merasa sangat menyesal telah menolak ayahnya. Dengan langkah berat dia memasuki rumah dan satu per satu perabot diperhatikannya bersama ayahnya. Dengan kunci wasiat yang diterimanya, dia membuka brankas besi ayahnya dan menemukan kita Buddha Vacana dengan ukiran emas namanya, hadiah hari wisuda.
Dia muali membuka halaman kitab tersebut dan menemukan tulisan ayahnya di halaman depan, “Dengan segala kejahatan yang telah kamu lakukan selama hidupmu, tetapi kamu tahu memberikan yang terbaik untuk anakmu, sungguh para Buddha dan Bodhisattwa akan terguncang dengan perbuatanmu.: Tanpa disengaja, tiba-tiba dari sampul kitab tersebut jatuh sebuah kunci mobil BMW dan kwitansi pembelian mobil yang tanggalnya persis satu bulan sebelum hari wisuda Hsiau-fei.
Hsiau-fei terpaku tanpa bisa bersuara, berbagai perasaan menghinggapinya. Dengan sisa tenaga yang ada, Hsiau-fei segera berlari ke garasi dan menemukan sebuah mobil BMW yang telah berlapiskan debu tetapi masih jelas bahwa mobil tersebut terbungkus plastik. Di depan kemudi terpampang foto ayahnya yang tersenyum bangga. Tiba-tiba lemaslah seluruh tubuhnya, dan air matanya tanpa terasa mengalir terus tanpa dapat ditahannya.. suatu penyesalan mendalam atas ketidaksabarannya sendiri.. suatu penyesalan yang tak mungkin berakhir.
Hachiko, Anjing yang Setia
Jika anda mengunjungi Shibuya, pusat perbelanjaan terpadat di
Tahun 1923. Pada musim dingin yang menggigit, di antara hamparan salju di Prefektur
Hachiko pun sangat menyukai Profesor. Pada tahun 1924, Hachiko dibawa ke
Demikianlah hari demi hari Hachiko selalu mengantarkan dan menemani Profesor Ueno.
Suatu hari, Profesor merasa kurang sehat. Walaupun demikian, Profesor tetap berangkat mengajar seperti biasanya. Hachiko pun, seperti biasanya, menemani Profesor berangkat ke stasiun Shibuya. Ketika sedang mengajar, Profesor tiba-tiba limbung dan terjatuh. Profesor Ueno mengalami serangan stroke. Murid-murid dan staf kampus yang kaget, segera membawa Profesor ke rumah sakit, Akan tetapi, nyama professor tak tertolong lagi.
Hachiko, sore harinya, seperti biasa berangkat lagi dari rumah ke Stasiun Shibuya untuk menunggu kepulangan tuannya. Akan tetapi, kali ini, di antara kerumunan orang-orang yang turun dari densha, tidak ada sang Profesor. Hachiko terus menunggu dan menunggu, berharap sosok sang Profesor akan menghampirin, dan bersama-sama pulang ke rumah.
Siang tergantikan malam. Akan tetapi, tuan yang ditunggu-tunggu tak kunjung dating. Hachiko pun pulang sendirian.
Keesokan harinya, Hachiko datang lagi ke Stasiun Shibuya, menunggu kepulangan sang Profesor. Akan tetapi, lagi-lagi professor yang dinanti-nantinya tak kunjung tiba.
Esok harinya, Hachiko datang lagi ke stasiun dan menunggu. Esoknya lagi.. dan esoknya lagi. Tak peduli hamparan salju yang membeku pada musim dingin, maupun udara musim panas yang lembab dan gerah, setiap harinya Hachiko pasti selalu datang menunggu.
Akan tetapi, Hachiko tetap menunggu. Tanpa pernah absent sehari pun, selama hamper 11 tahun, Hachiko tetap menunggu…
Suatu pagi, seorang petugas stasiun menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan jalan, Anjing itu telah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada tuannya pun ia bawa sampai mati.
Warga yang mendengar kematian Hachiko pun berdatangan ke Stasiun Shibuya. Jika anda mengunjungi Shibuya, Anda akan menemukan patung Hachiko di sisi utara Stasiun Shibuya saat ini.
Sampai saat ini pun, sekitaran patung Hachiko sering dijadikan tempat janji temu oleh orang-orang ataupun pasangan kekasih. Mereka berharap akan ada kesetiaan seperti yanh telah dicontohkan oleh Hachiko saat mereka menunggu maupun berjanji untuk datang..
Oleh orang Jepang, Hachiko dikenang dengan sebutan Chuuken Hachiko, yang artinya “Hachiko, anjing yang setia.”
Selasa, 01 Februari 2011
Anak Cacat Mental yang ditinggal
Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki,
wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku,
memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini
memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain
saja.
Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya
membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun
melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya
menamainya Angelica. Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga
Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan
membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.
Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa
stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu
melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu
menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun, Sam meninggal
dunia. Eric sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi
semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya
mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya
pergi meninggalkan kampung kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang
sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya
tinggal di sebuah gubuk setelah rumah kami laku terjual untuk membayar
hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak
kejadian itu.
Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia
Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat
buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah
sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah
berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah
perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi
yang mengingatnya.
Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti
sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari
betapa jahatnya perbuatan saya dulu.tiba-tiba bayangan Eric melintas
kembali di pikiran saya. Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric. Sore
itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan Brad
dengan pandangan heran menatap saya dari samping. “Mary, apa yang
sebenarnya terjadi?”
“Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal
yang telah saya lakukan dulu.” aku menceritakannya juga dengan
terisak-isak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah
memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis
saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang.
Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari
hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya
tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric..
Eric…
Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada
sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya
mengamatinya dengan seksama… Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali
potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan
Eric sehari-harinya. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap
sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.
Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala
ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
“Heii…! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!”
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya, “Ibu, apa ibu kenal
dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?”
Ia menjawab, “Kalau kamu ibunya, kamu sungguh tega, Tahukah kamu, 10
tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus
menunggu ibunya dan memanggil, ‘Mommy…, mommy!’ Karena tidak tega,
saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya.
Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah,
namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan
yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis
setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu…”
Saya pun membaca tulisan di kertas itu…
“Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi…? Mommy marah sama
Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji
kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom…”
Saya menjerit histeris membaca surat itu. “Bu, tolong katakan…
katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!
Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!”
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
“Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric
telah meninggal dunia. Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya
sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan
di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut
apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya
ada di dalam sana… Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari
belakang gubuk ini… Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang
lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana.”