Ayah mengutamakan pria meremehkan wanita, kesan ini sudah berurat akar dalam sanubariku sejak masa kanak-kanak.
Sejak kecil hingga dewasa, akuselalu mendapat pakaian bekas kakak laki-lakiku. Bagaimanapun, seorang gasid yang mengenakan pakaian kakaknya yang longgar dan usang, rasanya sangat janggal. Saat pulang sekolah, aku selalu berlengah-lengah jalan di belakang, takut kepergok teman-temanku, yang akan mengejek dan menertawakanku sebagai bocah gadungan.
Kakakku seorang laki-laki cacat, lebih tua
Seharusnya akulah yang paling pantas disayang ayah. Karena hal ini, aku selalu tidak terima akan sikap ayah terhadapku, aku menganggap ayah pilih kasih. Suatu hari saat tahun baru, ayah lagi-lagi membelikan pakaian baru untuk kakak, sedangkan aku tidak satu pun. Akhirnya aku tak tahan lagi, melabrak ayah sambil berteriak, “Ayah pilih kasih! Aku benar-benar tidak mengerti. Ia hanya laki-laki cacat, apa bagusnya meski berpakaian bagus sekalipun?! Mendengar itu, bukan main marahnya ayah dan ia menamparku. Aku tidak menyerah dan mengangkat kepalaku, bak seekor singa yang lapar aku meraung sambil menatap ayah, “Aku tahu ayah memandang rendah padaku, ayo pukul lagi! Kalau perlu bunuh saja sekalian!” Muka ayah merah padam saking marahnya, kemudian ia hendak menampar lagi, tapi dicegah oleh ibu.
Sejak itu, aku makin benci sama keluarga ini, aku belajar dengan tekun, dan berencana hendak meninggalkan keluarga ini setelah lulus ke perguruan tinggi. Abangku hanya sekolah beberapa tahun, setelah itu berhenti dan tinggal di rumah, prestasi belajarnya selama ini sebenarnya sangat memuaskan. Tapi aku tidak merasa menyesal untuknya, malah aku merasa senang, “Siapa suruh kau cacat?”
Setelah lulus SMA aku berhasil diterima di sebuah lembaga ilmu kedokteran. Dua tahun kemudian, aku menjalin
Belakang akhirnya pernikahan kakak telah dibicarakan dan disetujui, yaitu seorang gadis desa tetangga yang polos. Ayah mengeluarkan puluhan ribu yuan dan dengan cukup meriah menyelenggarakan pernikahan mereka.
Setelah menikah., aku juga sudah jarang pulang ke rumah. Beberapa hari yang lalu ayah ulang tahun yang ke-60, ibu meneleponku, tapi aku menolak dengan alas an lagi sibuk dan mungkin tidak bisa pulang. Dengan kecewa ibu menutup telepon.
Suamiku mengatakan, tidak baik kalau ulang tahun ayah sampai tidak menyempatkan diri untuk pulang. Suamiku memberi berbagai nasehat, dan akhirnya aku pulang juga. Ayah tampak gembira, sibuk ke
Malamnya, aku tidur bersama ibu. Pada malam itu ibu mengatakan, “Gadis manis, lain kali tidak boleh berkata begitu sama ayah, karena marah ayahmu hari ini menyeka air matanya.” Aku berbisik pelan, “Siapa suruh dia pilih kasih?” Ibu menarik napas panjang lalu berkata, “Sayang, tahukah kamu kenapa kaki kakakmu cacat?” Aku menggeleng. “Saat kamu masih anak-anak, suatu ketika ayah membawamu dan kakamu menumpangi traktor pergi ke pecan raya, tapi traktor itu terbalik di tengah jalan, dengan nalurinya ayah memelukmu dan menloncat keluar. Namun, ketika ayah kembali lagi mencari kakakmu, kakinya telah tertindih di bawah roda. Kakakmu kemudian di bawa ke rumah sakit, dan meski nyawanya selamat, tapi meninggalkan cacat seumur hidup. Dan sampai sekarang ayahmu masih merasa sangat bersalah, ia tidak melindungi kalian dengan baik sekaligus. Tapi ayah juga tidak mau aku menceritakan hal yang sebenarnya padamu, ayah takut kau akan memikul beban jiwa yang berat.”
Aku termangu.., dan air mata berlinang membasahi wajahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar