Dulunya tempat ini adalah hamparan kebun singkong. Namun sejak tahun 1980-an perlahan-lahan rumah semi permanen dibangun menggantikan tanaman singkong. Lama kelamaan kawasan ini menj
adi padat dan
ramai. Dan belakangan kawasan ini terkenal sebagai kawasan berbahaya
karena banyak residivis yang tinggal dan bersembunyi disini, serta
banyak dihuni para pengemis.
Setiap Ramadhan kampung ini didatangi ratusan orang dengan menumpang truk untuk mengontrak. Seorang warga asli yang memiliki banyak kontrakan disitu selalu “panen” setiap bulan puasa karena kontrakannya full house. Padahal bulan biasa paling hanya terisi separuhnya. Para pengontrak itu adalah pengemis yang suka mangkal di wilayah Menteng dan Jatinegara.
Tarif kontrakan disitu bervariasi, antara Rp 150.000-Rp 500.000 per bulan. Biaya tersebut sudah termasuk biaya listrik. Para pengontrak tinggal dengan peralatan seadanya. Paling hanya tikar dan kasur lipat. Tidak ada perabot-perabot yang mewah. Padahal pendapatan mereka per hari nnya besar, paling sedikit Rp 200.000. Rata-rata seharinya mereka mendapat Rp 500.000-Rp 600.000.
Sekalipun dapat duit banyak dari mengemis, namun kehidupan mereka di kontrakan seperti orang tidak punya. Sebab uang hasil mengemis biasanya secara rutin dikirim ke kampung untuk beli sawah dan membangun rumah.
Seorang pemilik kontrakan disitu mengaku pernah melihat rumah-rumah mereka saat menghadiri kondangan warga setempat yang menggelar acara khitanan anaknya di daerah Haur Geulis, Indramayu. Saat datang ikut hajatan di sana ia ditunjuki rumah para pengemis yang ngontrak di Kebon Singkong. Ia sangat terkejut karena rumah-rumah tersebut sekelas pemukiman elit Pondok Indah, bahkan ada yang punya kolam renang
Pengemis yang tinggal di Kebon Singkong kebanyakan orang-orang tua, orang cacat dan anak-anak. Sementara bapak-bapak atau ibu-ibunya bertugas mengawasi dan mengantar jemput para pengemis. Mengapa demikian? Sebab bila yang mengemis adalah orang buta atau anak-anak biasanya mendapat uang banyak. Kalau orang dewasa yang berbadan normal tidak akan mendapat banyak uang. Karena kecacatan akan menerbitkan belas kasihan..
Oleh karena itu, banyak orang buta disitu tidak mau diobati. Bakti sosial yang menggelar operasi katarak gratis tidak diminati. Bagi mereka, kebutaan dan kecacatan adalah aset untuk mengemis.
Gilanya lagi, disitu banyak pengemis buta yang berpoligami. Buat para istri mereka, tidak masalah suaminya buta karena gampang dapat uang banyak. Oleh karena itu, walaupun buta mereka jadi rebutan.
Walah jadi lebih mikir yah kita kalau mau kasih pengemis, terutama di kota2 besar soalny tidak selamanya memang pengemis itu butuh bantuan kita...
Setiap Ramadhan kampung ini didatangi ratusan orang dengan menumpang truk untuk mengontrak. Seorang warga asli yang memiliki banyak kontrakan disitu selalu “panen” setiap bulan puasa karena kontrakannya full house. Padahal bulan biasa paling hanya terisi separuhnya. Para pengontrak itu adalah pengemis yang suka mangkal di wilayah Menteng dan Jatinegara.
Tarif kontrakan disitu bervariasi, antara Rp 150.000-Rp 500.000 per bulan. Biaya tersebut sudah termasuk biaya listrik. Para pengontrak tinggal dengan peralatan seadanya. Paling hanya tikar dan kasur lipat. Tidak ada perabot-perabot yang mewah. Padahal pendapatan mereka per hari nnya besar, paling sedikit Rp 200.000. Rata-rata seharinya mereka mendapat Rp 500.000-Rp 600.000.
Sekalipun dapat duit banyak dari mengemis, namun kehidupan mereka di kontrakan seperti orang tidak punya. Sebab uang hasil mengemis biasanya secara rutin dikirim ke kampung untuk beli sawah dan membangun rumah.
Seorang pemilik kontrakan disitu mengaku pernah melihat rumah-rumah mereka saat menghadiri kondangan warga setempat yang menggelar acara khitanan anaknya di daerah Haur Geulis, Indramayu. Saat datang ikut hajatan di sana ia ditunjuki rumah para pengemis yang ngontrak di Kebon Singkong. Ia sangat terkejut karena rumah-rumah tersebut sekelas pemukiman elit Pondok Indah, bahkan ada yang punya kolam renang
Pengemis yang tinggal di Kebon Singkong kebanyakan orang-orang tua, orang cacat dan anak-anak. Sementara bapak-bapak atau ibu-ibunya bertugas mengawasi dan mengantar jemput para pengemis. Mengapa demikian? Sebab bila yang mengemis adalah orang buta atau anak-anak biasanya mendapat uang banyak. Kalau orang dewasa yang berbadan normal tidak akan mendapat banyak uang. Karena kecacatan akan menerbitkan belas kasihan..
Oleh karena itu, banyak orang buta disitu tidak mau diobati. Bakti sosial yang menggelar operasi katarak gratis tidak diminati. Bagi mereka, kebutaan dan kecacatan adalah aset untuk mengemis.
Gilanya lagi, disitu banyak pengemis buta yang berpoligami. Buat para istri mereka, tidak masalah suaminya buta karena gampang dapat uang banyak. Oleh karena itu, walaupun buta mereka jadi rebutan.
Walah jadi lebih mikir yah kita kalau mau kasih pengemis, terutama di kota2 besar soalny tidak selamanya memang pengemis itu butuh bantuan kita...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar