Laman

Senin, 14 Januari 2013

Ketulusan Cinta


Robertson McQuilkin adalah seorang Rektor Universitas Internasional Columbia. Namun isterinya mengalami sakit alzheimer atau gangguan fungsi otak, sehingga ia tidak mengenali semua orang bahkan anak-anaknya, hanya satu orang yang ada dalam ingatannya, yaitu suaminya Robertson.

Karena kesibukan Robertson, maka ia menyewa seorang perawat untuk merawat dan menjaga isterinya. Namun suatu pagi alangkah herannya ia dan semua orang dikantornya, melihat Muriel isterinya datang ke kantor tanpa alas kaki dan ada bercak-bercak darah di kakinya. Ternyata Muriel bangun dari tempat tidur dan hanya dengan menggunakan daster berjalan kaki menuju kantor suaminya yang berjarak kira-kira satu kilometer dan bercak-bercak darah ada di sepanjang lantai kantor suaminya karena kakinya terantuk di jalan beberapa kali. Ketika masuk ke kantor suaminya, Muriel berkata “Saya tidak mau perawat, saya hanya mau kamu menemaniku.”

Mendengar kata-kata Muriel, Robertson mengingat janji nikahnya 47 tahun lalu, dan tidak lama kemudian ia meminta kepada pihak universitas untuk pensiun dan berhenti dari jabatannya sebagai Rektor. Pada pidato perpisahan di Universitas Internasional Columbia Robert McQuilkin menjelaskan apa yang terjadi pada isterinya dan mengapa ia mengambil keputusan untuk mengundurkan dari dari jabatannya.

Ia berkata: “47 tahun yang lalu, saya berjanji kepada Muriel dihadapan Tuhan dan disaksikan banyak orang, bahwa saya akan menerima dan selalu mencintai Muriel baik dalam suka maupun dalam duka, dalam keadaan kaya atau miskin, baik dalam keadaan sehat atau sakit.” Kemudian ia melanjutkan: “Sekarang inilah saat yang paling diperlukan oleh Muriel agar saya menjaga dan merawatnya.”

Tidak lama kemudian Muriel tidak bisa apa-apa lagi, bahkan untuk makan, mandi, serta buang air pun, ia harus dibantu oleh Robertson. Pada tanggal 14 Februari 1995 adalah hari istimewa mereka, 47 tahun lalu, dimana Robertson melamar dan kemudian menikahi Muriel. Maka seperti biasanya Robertson memandikan Muriel dan menyiapkan makan malam kesukaannya dan menjelang tidur ia mencium Muriel, menggenggam tangannya, dan berdoa, “Tuhan, jagalah kekasih hatiku ini sepanjang malam, biarlah ia mendengar nyanyian malaikat-Mu.”

Paginya, ketika Robertson sedang berolahraga dengan sepeda statis, Muriel terbangun. Ia tersenyum kepada Robertson, dan untuk pertama kali setelah berbulan-bulan Muriel tak pernah berbicara, ia memanggil Robertson dengan lembut dan berkata: “Sayangku …” Robertson terlompat dari sepeda statisnya dan memeluk Muriel. Kemudian Muriel betanya kepada suminya: “Sayangku, apakah kamu benar-benar mencintaiku?” tanya Muriel lirih, Robertson mengangguk dan tersenyum. Kemudian Muriel berkata: “Aku bahagia,” dan itulah kata-kata terakhir Muriel sebelum meninggal.

Sungguh kasih yang luar biasa. Alangkah indahnya relasi yang didasarkan pada cinta, tidak ada kepedihan yang terlalu berat untuk dipikul. Cinta adalah daya dorong yang sangat ampuh agar kita selalu melakukan yang terbaik. Menjalani kegetiran tanpa putus asa, melalui kepahitan tanpa menyerah, melewati lembah kekelaman dengan keberanian. Komitmen sejati dan cinta sejati menyatu. Cinta sejati harus memiliki komitmen sejati. Tanpa komitmen sejati, cinta akan pudar di tengah jalan, di tengah kesulitan dan penderitaan. Mari kita menumbuh kembangkan cinta kasih, untuk melandasi setiap motivasi, tindakan dan ucapan kita di mana pun dan kapan pun kita berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar