Laman

Senin, 30 April 2012

Sebuah Janji

Pada tahun 1989 terjadi gempa bumi berskala 6,9 SR di San Fransisco, Amerika Serikat. Sedikitnya 63 orang tewas dan ratusan terluka dalam bencana ini yang terjadi hanya dalam waktu 15 detik.

Ada seorang ayah yang meninggalkan istrinya di rumah setelah kondisinya dirasa aman, lalu ia buru-buru pergi ke sekolah anaknya. Setibanya di sana, ia mendapati gedung sekolah sudah dalam kondisi mengenaskan.

Begitu menghapus rasa terkejutnya, sang ayah teringat akan janji yang diucapkannya pada anaknya: "Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu!" Ia lalu mulai memikirkan rute jalan yang biasanya dilalui sang anak menuju kelasnya setiap pagi. Ia mencoba mengingat-ingat letak kelas anaknya yang kemungkinan berada di sudut kanan belakang gedung sekolah. Ia pun segera berlari ke sana dan mulai menggali reruntuhan gedung.

Selagi ia terus menggali, datang orangtua lainnya yang putus asa dan memanggil nama anaknya. Orangtua lain yang bermaksud baik berusaha menarik si ayah itu dari sisa bangunan sekolah yang mengenaskan, dengan berkata, "Sudah terlambat!"; "Mereka semua sudah meninggal"; "Kau tidak mungkin bisa menolong! Pulang sajalah!"; "Terima saja kenyataannya, tidak ada lagi yang bisa kau lakukan!" Si ayah menjawab semua komentar itu dengan ucapan, "Maukah Anda bantu saya sekarang?" dan setelah itu, ia melanjutkan penggaliannya demi sang anak.

Kepala dinas pemadam kebakaran tiba di tempat dan mencoba menarik si ayah itu dari reruntuhan bangunan sekolah dengan berkata, "Sudah mulai ada percikan api, terjadi ledakan di mana-mana. Anda dalam bahaya. Kami akan menangani masalah ini. Anda lebih baik pulang saja."

Lalu, seorang polisi datang dan berkata, "Anda itu sedang marah dan cemas. Semuanya ini sudah berakhir. Anda bisa membahayakan orang lain. Pulang sajalah. Kami akan menyelesaikan masalah di sini!"

Dengan berani, si ayah masih terus menggali karena ia perlu tahu: apakah anak lelakinya masih hidup atau sudah meninggal.

Delapan jam sudah berlalu, dan si ayah masih terus menggali... 12 jam... 24 jam... 36 jam... lalu di jam ke-38 ia mengangkat sebongkah besar batu dan mendengar suara anak lelakinya.

Ia memanggil nama anaknya: "ARMAND!"

Anak itu balas berteriak, "Ayah!?! Ini aku, Yah! Aku bilang ke anak-anak yang lain supaya tidak cemas. Kubilang kalau Ayah masih hidup, kau akan menyelamatkan aku. Dan begitu Ayah menyelamatkan aku, mereka juga akan diselamatkan. Ayah kan pernah berjanji, Apa pun yang terjadi, Ayah akan selalu ada untukku! Dan Ayah sudah penuhi janji itu!"

"Bagaimana kondisi di sana? Ada berapa anak?" tanya si ayah.

"Kami tinggal ber-14 dari 33 anak, Yah. Kami ketakutan, lapar, haus, dan bersyukur Ayah ada di sini. Waktu bangunan sekolah ambruk, ternyata runtuhannya membentuk segitiga. Dan itu menyelamatkan kami."

"Ayo, sekarang keluarlah, Nak!"

"Tidak, Yah! Biarkan anak yang lain lebih dulu karena aku yakin Ayah akan menolongku! Apa pun yang terjadi, aku tahu kau akan selalu ada untukku!" 
____________________

Bagi sebagian orang, sebuah janji hanyalah janji tanpa merasa perlu untuk memenuhi janji yang telah diucapkannya itu. Seandainya si ayah dalam kisah di atas juga punya sikap mental seperti itu, pasti ia akan langsung menyerah begitu melihat kondisi mengenaskan bangunan sekolah. Janji pada anaknya akan diabaikan begitu saja, sehingga penantian si anak akan pertolongan sang ayah menjadi sia-sia. Dengan begitu, ceritanya akan memiliki akhir yang berbeda.

Janji itu adalah utang. Seperti halnya kita selalu ingin bebas dari utang, mari kita mulai sekarang belajar untuk selalu menepati janji agar ia tidak berubah menjadi utang yang menumpuk. Tapi jika dirasa kita tidak mampu untuk memenuhi sebuah janji, sebaiknya jangan ucapkan janji itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar